Opini  

Ketika Etika Profesi Berhadapan dengan Likuiditas Rumah Sakit: Perlukah Uang Jaminan Dipertahankan

Padang, Kabarins.com — Kebijakan uang jaminan (deposit) di berbagai rumah sakit kembali memicu kontroversi. Di satu sisi, rumah sakit membutuhkan perlindungan finansial agar operasional tetap berjalan. Namun di sisi lain, praktik ini kerap menjadi hambatan akses layanan kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin dan pasien tanpa jaminan kesehatan aktif. Pertentangan antara etika profesi dan kebutuhan likuiditas lembaga pelayanan kesehatan, kembali menjadi sorotan.

Ketimpangan Akses: Ketika Administrasi Mengalahkan Kemanusiaan

banner 728x90

Sejumlah telaah literatur menunjukkan bahwa penerapan uang jaminan dapat menciptakan stratifikasi pelayanan. Pasien yang mampu membayar deposit sering kali mendapat layanan lebih cepat, sementara mereka yang tidak mampu terancam mengalami penundaan bahkan penolakan pelayanan.

Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mengungkap fakta penting: 27,8% penduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan yang aktif. Angka ini menegaskan bahwa kelompok rentan berisiko tinggi menjadi korban penundaan layanan hanya karena persoalan administrasi.
Ironisnya, kondisi ini bertentangan dengan nilai dasar etika medis—terutama prinsip justice (keadilan) dan non-diskriminasi. Dalam konteks pelayanan kesehatan, nyawa seharusnya tidak diukur dari kemampuan finansial.

Regulasi Sudah Tegas, Praktik Masih Bias

Secara hukum, aturan pemerintah telah memberikan batasan jelas. UU No. 17/2023 tentang Kesehatan dan Permenkes No. 4/2018 melarang rumah sakit meminta uang muka pada kondisi gawat darurat. Namun realitas di lapangan belum sejalan.

Beberapa rumah sakit, terutama yang dikelola pihak swasta, tetap mempertahankan deposit sebagai benteng likuiditas. Alasannya bukan tanpa sebab:
risiko piutang tak tertagih,
keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan,
proses verifikasi penjamin yang kerap lambat,
potensi fraud administrasi pasien.

Situasi ini menggambarkan dilema klasik: rumah sakit berada dalam posisi yang kompleks di tengah tuntutan pelayanan cepat dan tekanan finansial yang terus meningkat.

Lebih memprihatinkan lagi, banyak rumah sakit belum memiliki SOP baku terkait besaran deposit dan pengecualian bagi kasus tertentu, sehingga kebijakan kerap bergantung pada interpretasi petugas administrasi.

Solusi: Bukan Menghapus, Tetapi Menata Ulang Kebijakan Deposit

Menghapus total uang jaminan tentu tidak realistis tanpa alternatif. Namun pembatasan dan perbaikan tata kelola adalah keharusan agar kebijakan ini tidak kontraproduktif terhadap upaya mewujudkan Universal Health Coverage (UHC).

Beberapa langkah yang direkomendasikan antara lain:

1. Penguatan Regulasi Teknis
Diperlukan pedoman nasional yang lebih detail: definisi operasional kondisi gawat darurat, batas waktu verifikasi, serta skema pengecualian bagi kelompok rentan.

2. Pengembangan Skema Jaminan Alternatif
Pemerintah daerah atau pihak asuransi dapat menyediakan bridging fund sebagai jaminan sementara sampai proses verifikasi terselesaikan.

3. Optimalisasi Fungsi Sosial Rumah Sakit
Setiap rumah sakit wajib mengaktifkan dana bantuan sosial, program keringanan biaya, atau mekanisme subsidi silang.

4. Transparansi Kebijakan
Kebijakan deposit harus diinformasikan secara terbuka, tertulis, dan mudah diakses, sehingga publik mengetahui prosedur dan hak mereka.

Penutup

Dilema uang jaminan bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi isu kemanusiaan. Rumah sakit tidak boleh terjebak antara dua pilihan ekstrem: menjaga likuiditas atau mengabaikan hak pasien. Yang dibutuhkan adalah kebijakan transformatif—yang menjamin keberlanjutan rumah sakit sekaligus menjamin akses layanan bagi seluruh warga.

Ketika regulasi, transparansi, dan komitmen sosial berjalan beriringan, uang jaminan tak lagi menjadi tembok penghalang antara pasien dan haknya untuk hidup.

Di tulis Oleh: dr. Silvi Yanti Raflis
Mahasiswi S2 Administrasi Rumah Sakit, Universitas Andalas

banner 728x90