Oleh : Dr. Juli Yusran, M.Si Mantan Aktivis Lingkungan (KKI WARSI-Jambi)
Kabarins.com — Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar bencana lokal. Menurut BNPB, ribuan rumah rusak, lebih dari 900 orang meninggal, dan ratusan ribu warga terpaksa mengungsi. Dampak ekonomi langsung dan tidak langsung diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah, jauh melampaui kemampuan fiskal pemerintah daerah. Sementara itu, BMKG memperingatkan bahwa curah hujan masih tinggi hingga Februari 2026, dengan risiko banjir susulan yang dapat menambah korban dan kerugian. Kondisi ini menuntut tindakan tegas: pemerintah harus menetapkan banjir ini sebagai bencana nasional, dan membuka akses bagi bantuan asing tanpa hambatan.
Penetapan status bencana nasional bukan sekadar simbol birokrasi. Status ini memungkinkan koordinasi lintas kementerian, percepatan pencairan anggaran darurat, dan implementasi mitigasi yang terencana, mulai dari normalisasi sungai hingga peringatan dini berbasis teknologi. Tanpa status nasional, respons pemerintah cenderung terfragmentasi, lambat, dan tidak proporsional terhadap skala kerusakan, sehingga warga menjadi pihak yang paling dirugikan.
Di lapangan, penderitaan warga nyata dan mendesak. Seorang petani di Sumatera Utara kehilangan seluruh lahan sawah yang siap panen. Pedagang kecil di Padang kehilangan stok dagangannya. Anak-anak terpaksa berhenti sekolah karena bangunan rusak dan akses transportasi terputus. Bantuan darurat saja tidak cukup, karena tanpa dukungan koordinasi nasional, pemulihan rumah, sekolah, dan penghidupan akan tertunda berbulan-bulan, memperdalam trauma sosial dan kemiskinan.
Selain itu, ada hambatan serius dari sisi regulasi bantuan. Diaspora Indonesia di Eropa dan Amerika melaporkan kesulitan mengirimkan paket bantuan karena pajak dan prosedur bea masuk yang masih berlaku, sementara bencana belum berstatus nasional. Keluhan ini tercatat dalam berbagai forum komunitas diaspora, yang menegaskan bahwa setiap keterlambatan atau biaya tambahan langsung berdampak pada waktu distribusi dan jumlah korban yang tertolong. Hambatan administratif seperti ini bertentangan dengan praktik internasional dalam tanggap darurat kemanusiaan, di mana barang bantuan seharusnya bebas pajak dan masuk tanpa birokrasi berlebihan.
Data dari IFRC (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies) dan standar PBB menegaskan bahwa akses cepat terhadap bantuan asing adalah kunci mengurangi dampak bencana. Negara yang menunda status nasional sekaligus memberlakukan pajak atau biaya masuk pada bantuan kemanusiaan justru melanggar prinsip-prinsip ini. Setiap hari keterlambatan berarti nyawa yang bisa diselamatkan menjadi korban.
Dengan data yang jelas, prakiraan cuaca yang tegas, dan laporan dampak sosial-ekonomi yang kredibel, argumentasi untuk menetapkan status bencana nasional dan membuka pintu bantuan asing tidak dapat dibantah secara rasional. Ini bukan opini semata: ini soal tanggung jawab negara terhadap warga yang nyawanya terus terancam.
Penetapan status nasional dan pembebasan biaya masuk bantuan asing adalah tindakan hukum, moral, dan kemanusiaan yang sah dan mendesak. Tidak melakukan keduanya berarti negara memilih untuk membiarkan warga menanggung risiko tambahan akibat birokrasi, bukan akibat alam.
Banjir Sumatera adalah ujian nyata bagi keberpihakan pemerintah. Ketika data sudah ada, prakiraan hujan sudah jelas, dan dukungan internasional siap disalurkan, penundaan bukan lagi pilihan. Hujan belum berhenti, korban masih ada, dan negara harus hadir penuh — sekarang juga.







