kabarins.com – Undang-undang partai politik sudah direvisi empat kali sejak Reformasi 1998. Sayangnya makin lama direvisi malah manajemen parpol di Indonesia semakin buruk. Dari awal revisi pada 2002 hingga 2011 syarat pembentukan parpol semakin berat.
Peneliti Perludem Usep Hasan Sadikin menilai dua aspek utama parpol yang harus segera dibenahi. Pertama, kata dia, parpol mesti memiliki sumber dana yang jelas, transparan dan akuntabel. Kedua parpol diharuskan membangun sistem demokrasi internal yang adil dalam proses pencalonan di setiap event Pemilu.
Dua Dekade Reformasi, Partai Politik Dinilai Semakin Buruk
“Minimal alokasi dana negara untuk parpol punya alokasi khusus seperti untuk kaderisasi dan rekrutmen perempuan,” kata Usep dalam diskusi di Jakarta, Selasa (29/5).
UU no. 2 tahun 1999 yang dibuat untuk Pemilu 1999 merupakan UU parpol yang paling demokratis. Ketika itu cukup 50 orang saja parpol bisa dibentuk dan ikut Pemilu. Tidak heran Pemilu 1999 diikuti 48 parpol namun hanya meloloskan 21 parpol ke Senayan.
UU no 31 tahun 2002 merupakan regulasi pertama yang mensyaratkan pembentukan parpol dengan kepemilikan kantor tetap dan kepengurusan di seluruh Indonesia. Kemudian UU no 2 tahun 2008 menambah beban syarat pembentukan parpol menjadi badan hukum dan dan punya kantor tetap di seluruh provinsi minimal 60 persen di seluruh Tanah Air.
UU no 2 tahun 2011 menjadi regulasi parpol yang paling berat. UU ini mewajibkan parpol punya kantor tetap di seluruh provinsi hingga kabupaten kota 100 persen.
“Kemudian kalau kita bicara hambatan terbesar kita adalah menguatnya praktik politik transaksional,” ujar Usep.
Politik transaksional, kata dia, menyasar berbagai elemen ataupun aktor kepemiluan mulai dari jual beli suara, mahar politik hingga jual beli tiket pencalonan.
“Itu belum termasuk proses transaksi terhadap suap kepada penyelenggara maupun Hakim Pemilu.” (arn)
Baca Juga:
Parpol Koalisi Diimbau Berhati-hati Perpecahan Menuju Pilpres







