Pasaman, Kabarins.com — Suasana hangat langsung terasa, ketika Anggota DPRD Sumbar, Donizar, memasuki lokasi reses di Lubuk Layang, Kecamatan Rao Selatan, Sabtu (29/11/2025). Alih-alih suasana formal dan kaku, pertemuan itu berubah menjadi ajang ngobrol santai penuh gurauan, namun tetap mengakomodir aspirasi masyarakat.
Canda tawa terutama ramai terdengar dari barisan emak-emak yang antusias menyampaikan keluhan, usulan, hingga cerita kondisi kampung mereka.
Donizar membalas dengan gaya komunikatif khasnya, kadang serius, kadang jenaka, tapi tetap fokus menyerap aspirasi.
Salah satu suara yang mencuat datang dari tokoh masyarakat, Haji Wenis Mira Hadi, menyampaikan kondisi Masjid Kubu yang mulai terancam aliran sungai di dekatnya.
“Kalau tak segera ditangani, sungai ini bisa menggerus lokasi masjid. Kami khawatir, Pak. Selain itu, tikar masjid juga sudah banyak yang rusak,” ujarnya.
Donizar menanggapi memberi kepastian bahwa aspirasi itu akan ditampung karena ada masyarakat yang dibawanya melalui suara yang diperoleh.
Dalam sesi dialog yang semakin cair, Donizar menjelaskan kembali tugas fundamental seorang anggota DPRD.
“Ada tiga tugas pokok kami,” katanya sambil mengangkat tiga jarinya. “Membuat Perda, menyusun anggaran, dan melakukan pengawasan. Jadi kalau datang reses, bukan hanya duduk-duduk saja. Kami mendengar, mencatat, dan memperjuangkan.” tuturnya.
Namun yang paling ditekankan Donizar dalam pertemuan kali ini adalah soal politik tanggung jawab dan bahaya politik uang.
“Kalau politiknya politik uang, selesai sudah. Tidak ada aspirasi yang bisa diperjuangkan karena hubungan yang terbangun hanyalah transaksi,” tegasnya.
“Berbeda dengan politik tanggung jawab, di situ ada hutang moral kami kepada masyarakat yang memberi amanah. Itu yang saya pegang,” ujar Donizar.
Donizar kemudian mengungkapkan cara ia menghitung komitmennya terhadap daerah pemilihannya.
Di Lubuk Layang, Donizar memperoleh sekitar 300 suara pada pemilu lalu. Dengan perhitungan pokok pikiran (pokir) yang ia sebut sebagai bentuk tanggung jawab moral, ia menyalurkan sekitar Rp 500 juta selama lima tahun untuk nagari tersebut.
“Satu suara tidak harus dibeli. Tapi satu suara tetap punya nilai. Saya menghargai setiap suara sekitar tiga ratus ribu rupiah dalam bentuk pembangunan dan program,” katanya.
“Kalau totalnya 300 suara, ya kira-kira segitulah pokir yang saya bawa kembali ke daerah ini. Bukan karena transaksi, tapi karena amanah.”
Reses sore itu berakhir dengan hangat, masyarakat merasa didengar, Donizar pun pulang dengan catatan aspirasi yang lebih tebal. Obrolan yang awalnya dibalut canda berubah menjadi diskusi serius yang menunjukkan bahwa politik, sejatinya, bisa tetap hangat tanpa harus digiring oleh uang. (Joni)







